Skip to main content
Ricki Pratama Putra

Oligarki, Politik dan Indonesia

Oleh : Ricki Pratama Putra, S.H

Bagi sebagian orang, mungkin melihat bahwa Indonesia hari ini dalam keadaan yang baik-baik saja, dalam keadaan yang begitu normal. Namun, sebagian yang lain, yang menunjukkan dan masih mempertahankan skeptikal nya pada negara, tentu merasakan begitu banyak persoalaan kebangsaan hari ini. 

Begitupun saya, merasakan sebuah keadaan yang makin hari kondisi negara ini kian membingungkan, bahwa sebagian ahli politik mengatakan Indonesia sudah berada dalam cengkraman oligarki, itu sangat mungkin dan sangat berdasar. 

Kita bisa melihat hari ini, bahwa para oligark sudah merengkuh sektor-sektor kekuasaan. Bahkan sebahagian sudah menjadi figur kekuasaan itu. Demokrasi kita sudah menjadi Demokrasi yang semu, kita hanya dibolehkan memilih siapa pemimpin kita, setelah dipilih dan diseleksi oleh oligarki sebagai bentuk politik pertahanan kekayaan mereka. 

Pertama, Ini semua terjadi karena penguasaan material resources yang ektrem dimiliki oleh para oligark, sehingga akhirnya terjadi ketimpangan politik yg ekstrem pula. Dengan itu semua, para oligark sudah berhasil membangun sistem politik Indonesia yg  butuh cost politik begitu mahal. Dan itulah yg menjadi Tol yg mempercepat arus laju cengkraman oligarki di negara ini. Yang akhirnya menyebabkan para politisi harus mencari sponsor untuk kampanyenya, dan oligark hadir disana, maka terjadilah politik idjon (Politik Balas Budi). Namun, sekarang bisa lebih dari itu, mereka para oligark tidak hanya sekedar menjadi sponsor, tapi terjun ke gelanggang pertarungan kekuasan, semata-mata untuk mempertahankan kekayaan. 

Kedua, sumber-sumber kekayaan para oligark kebanyakan berada pada Sektor Natural Resources, mereka menguasai Pertambangan Minerba di mana-mana, sehingga kita bisa melihat bahwa di Pemilu 2019 lalu, memilih Prabowo-Sandi ataupun Jokowi-Maruf Amin sama buruknya, karena mereka semua dikelilingi oleh para oligarki energi kotor. Yang pasti sarat akan kepentingan. 

Buruknya lagi hari ini Indonesia juga terjebak pada hutang yang begitu besar, dan begitu banyak asing yg menguasai natural Resources negara kita. Bila meminjam perspektif Gabriel A. Almond tentang kapabilitas sistem politik suatu negara, pada kapabilitas ekstraktif Indonesia begitu lemah, sehingga selalu kalah dari para Oligarki dan Globalis Cabal dalam mengelola sumber daya alam material, yang akhirnya menyebabkan negara gagal dalam menjalankan amanat konstitusi untuk bisa menggunakan  SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila mengelolanya saja sudah kalah, bagaimana lagi di kapabilitas di sektor distributifnya, tidak mungkin negara mampu menciptakan keuntungan bagi warga negara Indonesia. 

Maka, tentu situasi genting negara ini mesti direspon. Sistem Politik yang sudah berantakan ini mesti segera dibenarkan, bahkan di dekontruksi untuk dilakukan rekonstruksi sistem politik yang baru. 

Untuk merespons itu Mahasiswa dan civil society mesti bergerak. Karena dalam narasi sejarah, gerakan mahasiswa selalu pada akhirnya bisa berimplikasi pada perubahan sistem politik yang baru. Dan civil society mesti menggunakan perannya seperti yang tertulis dalam karya ilmiah Leila Thorp untuk menjadi pengawas para kekuasaan korup yang keluar dari jalur Demokrasi. Civil society mesti bisa menggerakkan grasaroots untuk terlibat dalam agenda perbaikan ini. 

Sudah saatnya kita beranjak dari kondisi yang nyaman ini, jangan sampai kita menjadi generasi lemah yang membiarkan kerusakan terus mengakar, dan penyakit pada negara ini terus akut. 

Kembali pada sebuah adagium, Kondisi yang baik akan melahirkan generasi yang Lemah, Generasi yang Lemah akan melahirkan kondisi yang buruk, Kondisi yang buruk akan melahirkan generasi yang kuat, dan generasi yang kuat akan menciptakan kondisi yang baik. 

Walau tidak bisa saklek kita menerima itu, namun memang demikian ada kecenderungan pengulangan. Maka bila kita hari ini dalam hipotesa saya berada kondisi yang buruk, harusnya kita tidak boleh lama-lama menjadi generasi lemah itu, kita harus segera menjadi generasi yang kuat untuk mengembalikan kondisi yang baik pula. 

Maka mari bersama berpikir bagaimana memperbaiki keadaan bangsa ini, beberapa alternatif sudah beberapa kali ditawarkan ahli. 

Prof. Jeffrey Winters misalnya, yang menawarkan merekonstruksi agar legislatif yang hari ini sangat sedikit isinya, dijadikan big legistive dengan 5000 orang misalnya, dengan harapan akan memperkecil daya cengkram oligarki terhadap lembaga negara, dan mempermurah harga kursinya. 

Atau dengan saran Prof. John Mccomik di University Of Chicago yang mengatakan bila DPR, DPD dan MPR semua selalu akan menjadi lembaga yang mewakili kaum kaya, maka dalam bukunya Machiavelli Democracy, beliau mengatakan harus membentuk lembaga khusus yang mewakili yang miskin, yang dipilih tanpa pemilihan, namun melalui lotre. Sehingga akan otomatis terpilih perwakilan tiap tiap daerah dan entitas, dengan syarat yang boleh mewakili orang tak berpunya hanyalah orang tak berpunya. 

Kemudian yang ketiga, mengubah sistem politik Indonesia dengan ciri khas Musyawarah Mufakat sehingga menghasilkan sistem politik efektif yang disampaikan pak Ubedilah Badrun, namun untuk ini tidak bisa di uraikan di tulisan karena begitu panjang, setidaknya ada tiga pola yang beliau sampaikan untuk menuju sistem politik efektif. 

Keempat, bisa dengan menggerus dominasi sumber kekayaan materi para oligark yakni sektor minerba sebagai energi kotor, dengan mengalihkan ke arah renewable energi. Sehingga permainan oligark pada sektor tersebut akan semakin tergerus, dan memperkecil Resources yang bisa mereka dapatkan. Namun, ini begitu sulit dilakukan, karena butuh kesadaran yang besar, dana yang besar dan waktu yang panjang? 

Bagaimana kita membangun awareness itu? mendapatkan Dana? Dan seberapa lama waktu yang diperlukan? Itu yang akan menjadi pertanyaan terbesarnya. 

Kelima, cara yang paling Radikal dan sebisa mungkin dihindari dalam melakukan perubahan adalah revolusi. Penumbangan kekuasaan rezim secara inkonstitusional. Karena jika secara konstitusional hampir tidak memungkinkan, belum ada sejarahnya Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan untuk diberhentikan oleh DPR, yang kemudian dinilai MK dan di sidang oleh MPR. Satu-satunya cara menurunkan Presiden dan Wakil Presiden secara Konstitusional hanyalah dengan menunggu masa jabatannya habis 😅✌️


#Tolak3Periode #StopWacanaPenundaanPemilu #GoodbyeJokowiAmin #LawanOligarki